Sabtu, 20 Oktober 2012

Going Extra mile?

 Going The Extra mile

Tidak terpaku pada apa yang diwaj ibkan. Berkaryalah tanpa beban kewajiban. Bekerja tanpa pamrih. Mungkinkah?
Ada yang bilang, "Kewajiban saya adalah bekerja dari pukul 07.00 pagi hingga pukul 13.45 sore. Saya selalu tepat waktu. Masuk kantor tepat waktu. Keluar kantor tepat wak­tu. Istirahat tepat waktu. Mengambil cuti tahunan tepat waktu.... Kalau pekerjaan di kantor masih tetap tidak beres, ya itu bukan­lah tanggung jawab saya. Saya sudah mem­berikan tenaga sesuai dengan kewajiban saya, gaji saya, dan kontrak kerja yang telah saya tanda tangani. Saya tidak melanggar peraturan apa pun."
Tepuk tangan, Horreee....•
Anda akan selamanya bekerja di kantor itu, dengan promosi yang tepat waktu juga. Tinggal berdoa supaya kantor Anda tidak tu­tup,  tunggu pengumuman akan diadakan remunerasi masal, tidak ada pension dini dan rasiponalisasi PNS supaya kita tidak kehilangan mata pencaharian.
Bekerja karena kewajiban adalah baik, tetapi tidak cukup bila Anda ingin meraih keber­hasilan sejati. Keberhasilan sejati membu­tuhkan sedikit pengorbanan, yaitu pengor­banan hak. Inilah dalam tradisi di Bali disebut sebagai Yajna. Cintailah pekerjaan Anda. J anganlah bekerja karena terdorong oleh kewajiban saja.
Bila kita mencintai pekerjaan, dengan sen­dirinya kita tak akan terpaku dengan apa saja yang menjadi kewajiban kita. Bila pekerjaan di kantor belum selesai, tidak ada salahnya bila kita meninggalkan kantor setelah menyelesaikannya. Tidak perlu memeriksa jam terus."Ah, tapi saya tidak dibayar untuk itu. Saya tidak menerima uang lembur."
 Ini adalah mentalitas buruh kasar. Bila Anda ingin diperlakukan sebagai buruh kasar, pe­liharalah mentalitas itu. Tapi, bila Anda ingin diperlakukan sebagai mitra yang saling peduli, mentalitas itu harus diubah. Apalagi, bila Anda ingin menjadi boss sen­diri, bila Anda ingin menjadi pengusaha, mentalitas "bekerja sesuai dengan kewajib­an" menjadi penghalang utama.
Bagaimana membiasakan diri to go extra mile?
Berkaryalah tanpa pamrih, karena pamrih Anda tidak menjamin keberhasilan Anda. Karya Andalah yang menjamin hal terse­but. Hill tidak bicara banyak tentang hukum aksi­reaksi, kendati hal ini sangat erat kaitannva dengan hukum tersebut. Ada aksi, ada reaksi yang setimpal. Bila Anda telah bekerja secara optimal, pekerjaan Anda pasti mem­bawa hasil yang optimal pula. Bila Anda bekerja dengan setengah hati, hasilnya pun setengah. Go extra mile, dan hasilnya akan ikut go extra mile juga. Cukup masuk akal bukan? So. Tentukan pilihan kita sekarang dan tidak harus bilang  “Wow”, just do it
Tulisan ini dikutif dari Buku Total Success, karya Anand Krishna, Terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2009

Pakaian Seragam, Perlukah?



Keseragaman, Nyatakah?
Ada fenomena menarik dikalangan sekolah,  ini terjadi sejak beberapa tahun terakhir. Pernahkah kita memperhatikan phenomena uniformity-keseragaman, awalnya dari pakaian untuk siswa, baju dan celana, kemudian beralih sampai ke tas, jaket, dan kini sampai ke kaos kaki. Ini mulai sejak anak TK bahkan sampai ke perguruan tinggi. Namun benarkan keseragaman ini menambah ‘sesuatu’ pada anak didik?
Berikut ini adalah perubahan system yang terjadi dari abad ke-20  ke abad 21

Dilihat dari fenoma itu semestinya perlakuan-perlakuan seragamisasi sudah mulai melunak, karena tidak didukung oleh system, tetapi kenapa justru lembaga pendidikan sekarang malah menjadi alot dengan menerapkan kebijakan seragamisasi, bahkan kaos kakipun diseragamkan, siswa kehilangan hak untuk sekedar memilih kaos kaki yang mereka inginkan. Beralihnya system dari keseragaman menuju keberagaman akan bermuara pada sikap apresiatif pada perbedaan. Jika sejak kecil anak terus ditekan untuk menjalankan keseragaman maka dia akan belajar untuk selalu mecampakan keberagaman, padahal keberagaman sangatah hakiki sifatnya. Kesegaman yang di barengi dengan paradigm pembelajaran kompetitif yang hanya akan menekankan ranah kognitif anak didik. Kondisi ini akan selalu memberi asupan untuk memperbesar semangat keseragaman. Pembelajaran yang kompetitif akan melahirkan individu yang egois dengan kepekaan social yang rendah. Orang selalu berkelakar “ kalian boleh rebut semua peringkat olimpiade sain dan olimpiade-olimpiade lainnya………. Tapi jangan berharap hadian Nobel!”. Dunia telah berubah, semangat keberagaman mesti mulai ditumbuhkan, mengurangi proses pembelajaran yang bersifat kompetitif dan beralih ke pembelajaran yang bersifat kolaboratif.  Mulai dari hal-hal kecil, untuk membangun karakter anak didik yang apresiatif pada keberagaman tidak bisa dengan menyeragamkan kaos kaki mereka! Bagaimana mungkin mengajarkan penghormatan pada perbedaan dengan penyeragaman tas sekolah mereka?
Keyakinan akan kecerdasan majemuk yang dimiliki oleh setiap anak akan menambah kekuatan akan usangnya semangat keseragaman, baju bisa kita seragamkan, tapi bukan otak dan bakat mereka! Belajar bukan lagi mentransfer ilmu, namun membangun pengetahuan.  Ide utamanya adalah bagaimana membelajarkan siswa bukan bagaimana mengajar siswa!  
Kalau anak didik sudah dijejali dengan keseragaman dalam kehidupannya nyatanya, akan sangat susah bagi mereka untuk belajar menghargai  keberagaman, ingat anak tidak hanya belajar secara auditory- perintah guru, namun tuga  secara visual kinestetik, dari apa yang mereka lihat dan lakukan? Jadi perlu keselarasan antara apa yang didengar, dilihat dan yang dilakukan.
Keseragaman sangatlah tidak natural, keberagaman adalah sangat nyata dan natural, demikianlah kehendak alam. Kini pertanyaannya adalah masih perlukah asesoris seragam untuk para siswa?
Dalam tiga gelombang reformasi dalam pendidikan  Cheng menulis:
Gelombang I: tahun 1970:
Fokus utamanya pada keefektifan internal dengan usaha membuat  perbaikan  kinerja internal dari institusi pendidikan  secara umum dan  metode dan proses pengajaran dan pembelajaran secara khusus.

Gelombang II 1990:
Menekankan  keefektifan  antarmuka secara tipikal didefinisikan  dengan istilah dalam  kualitas  pendidikan, kepuasan stake holder,dan persaingan pasar dengan lebih  banyak kebijaksanaan  usaha mengarah pada meyakinkan kualitas denan akuntabilitas pada  internal dan ekternal stakeholder

Gelombang III 2000:
Munculnya gelombang III dari pendidikan  secara kuat merepormasi yang menekankan keefektifan  masa depan, didefinisikan dengan istilah  pembelajaran dengan fungsi-fungsi baru  pendidikan  di abad yang baru sekaligus  relevansinya dengan paradigma baru pendidikan  pendidikan yang berfokus pada  CMI (contextualized multiple intelligences) yang hendak dituju  dari visi baru dan misi baru pada tingkatan  yang  berbeda dari  pendidikan, belajar sepanjang masa, jaringan kerja global, pandangan internasional dan menggunakan teknologi infomasi adalah beberapa dari bukti  kemunculan gelombang III. Kita sedang berada di gelombang mana? Atau kita berada di era yang salah?

Senin, 15 Oktober 2012



Think And Grow Rich of nineteen  Idea

By Napoleon Hill

1. Will Power: niat yang kuat.
2. imagination atau creative Vission
3. Enthusiasm
4.Good Planning and dedinitieness purpose
5. mastermind
6. Applied Faith
7. Decision
8. persistence
9. Personal initiative.
10. Right mental Attitude.
11. self Discipline
12. Going the Extra mile
Penjelasan tentang kerja Going The Extra mile
Tidak terpaku pada apa yang diwaj ibkan. Berkaryalah tanpa beban kewajiban. Bekerja tanpa pamrih. Mungkinkah?
Ada yang bilang, "Kewajiban saya adalah bekerja dari pukul 07.00 pagi hingga pukul 13.45 sore. Saya selalu tepat waktu. Masuk kantor tepat waktu. Keluar kantor tepat wak­tu. Istirahat tepat waktu. Mengambil cuti tahunan tepat waktu.... Kalau pekerjaan di kantor masih tetap tidak beres, ya itu bukan­lah tanggung jawab saya. Saya sudah mem­berikan tenaga sesuai dengan kewajiban saya, gaji saya, dan kontrak kerja yang telah saya tanda tangani. Saya tidak melanggar peraturan apa pun."

Tepuk tangan, Horreee....•
Anda akan selamanya bekerja di kantor itu, dengan promosi yang tepat waktu juga. Tinggal berdoa supaya kantor Anda tidak tu­tup,  tunggu pengumuman akan diadakan remunerasi masal, tidak ada pension dini dan rasiponalisasi PNS supaya kita tidak kehilangan mata pencaharian.
Bekerja karena kewajiban adalah baik, tetapi tidak cukup bila Anda ingin meraih keber­hasilan sejati. Keberhasilan sejati membu­tuhkan sedikit pengorbanan, yaitu pengor­banan hak. Inilah dalam tradisi di Bali disebut sebagai Yajna. Cintailah pekerjaan Anda. J anganlah bekerja karena terdorong oleh kewajiban saja.
Bila kita mencintai pekerjaan, dengan sen­dirinya kita tak akan terpaku dengan apa saja yang menjadi kewajiban kita. Bila pekerjaan di kantor belum selesai, tidak ada salahnya bila kita meninggalkan kantor setelah menyelesaikannya. Tidak perlu memeriksa jam terus."Ah, tapi saya tidak dibayar untuk itu. Saya tidak menerima uang lembur."
 Ini adalah mentalitas buruh kasar. Bila Anda ingin diperlakukan sebagai buruh kasar, pe­liharalah mentalitas itu. Tapi, bila Anda ingin diperlakukan sebagai mitra yang saling peduli, mentalitas itu harus diubah. Apalagi, bila Anda ingin menjadi boss sen­diri, bila Anda ingin menjadi pengusaha, mentalitas "bekerja sesuai dengan kewajib­an" menjadi penghalang utama.
Bagaimana membiasakan diri to go extra mile?
Berkaryalah tanpa pamrih, karena pamrih Anda tidak menjamin keberhasilan Anda. Karya Andalah yang menjamin hal terse­but. Hill tidak bicara banyak tentang hukum aksi­reaksi, kendati hal ini sangat erat kaitannva dengan hukum tersebut. Ada aksi, ada reaksi yang setimpal. Bila Anda telah bekerja secara optimal, pekerjaan Anda pasti mem­bawa hasil yang optimal pula. Bila Anda bekerja dengan setengah hati, hasilnya pun setengah. Go extra mile, dan hasilnya akan ikut go extra mile juga. Cukup masuk akal bukan? So. Tentukan pilihan kita sekarang dan tidak harus bilang  “Wow”, just do it

13. Learning from Adversity and defeat
14. Maintenance of Sound Health
15 Pleasing Personality
16. Teamwork
17. Budgeting Time and Money
18. Cosmic Habitforce
19. Transmutation of Sexual Energy

Tulisan ini dikutif dari Buku Total Success, karya Anand Krishna, Terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2009