Selasa, 29 Januari 2013

Melayani Siswa



MEMBANGUN SELF CONTROL DAN SELF REGULATED LEARNING PADA SISWA

Suatu ketika ada seoarang anak melihat kepompong, karena kasihan, maka si anak membantu kupu-kupu kecil itu keluar dari kepompong itu, namun sial kupu-kupu kecil itu justru mati pelan-pelan, ternyata kupu-kupu itu belum siap untuk keluar dari kepompongnya, sehingga sayapnya masih lemah belum bisa terbang. Kupu-kupu itu memang harus keluar sendiri dari kepompongnya tanpa bantuan, proses keluarnya kupu-kupu dari cangkang kepompong secara mandiri itu untuk menguatkan kupu-kupu itu sendiri.  Ada saat dimana kita harus membantu dan dimana harus membiarkan sebuah proses berjalan dengan alami demi untuk memandirikan.

Metakognitif secara lebih sederhana didefinisikan sebagai berpikir bagaimana berpikir. Metakognitif  terdiri dari dua komponen: pengetahuan dan regulasi. Pengetahuan metakognif termasuk pengetahuan tentang diri pebelajar dan factor-faktor yang  mungkin mempengaruhi kinerja, pengetahuan  tentang strategi, dan pengetahuan tentang kapan dan mengapa menggunakan strategi. Regulasi metakognitif adalah pemantauan kognisi seseorang dan termasuk  perencanaan  kegiatan, kesadaran akan pemahaman dan kinerja tugas, dan evaluasi dari efikasi pemantauan proses dan strategi. Penelitian terakhir menyarankan bahwa anak muda mampu memiliki bentuk pemikiran metakognisi yang belum sempurna,  khusunya setelah berusia tiga tahun. Walaupun  model perkembangan individu  bervariasi, kebanyakan postulat menunjukan perbaikan dalam metakognisi selaman enam tahun awal masa kehidupan. Metakognisi juga memperbaiki  kaitannya dengan pembelajaran, dengan bukti empiric yang mendukung gagasan  bahwa siswa dapat berpikir untuk merefleksi pemikirannya sendiri.
Para ahli mengklasifikasikan  metakognisi ini menjadi beberapa, yaitu:  1) Pengetahuan kognitif ( juga sering disebut  kesadaran kognitif) mengacu pada  apakah seseorang tahu tentang diri mereka sendiri dan orang lain  sebagai prosesor kognitif, 2) Regulasi metakognitif adalah regulasi kognisi dan pengalaman belajar melalaui seperangkat kegiatan yang membantu  orang mengatur pembelajaran mereka. 3) Keterampilan kognitif mengacu pada kesadaran pengaturan  proses seperti perencanaan, pemantauan kemajuan sebuah proses, alokasi usaha, penggunaan strategi dan regulasi kognisi. Dan 4). Pengalaman metakognisi adalah pengalaman yang harus dilakukan dengan kondisi saat ini, usaha keras kognitif yang berlanjut.
Metakognitif ini sangat penting bagi siswa, dalam proses pembelajaran siswa juga harus memahami bahwa proses belajar dapat dipelajari, Learning how to learn. Sehingga siswa memiliki keterampilan untuk belajar dan pengalaman belajar untuk memandirikan dirinya sendiri. Dengan demikian guru dalam hal ini sebagai fasilitator yang dapat menumbuhkan metakognitif siswa dengan memberi peran siswanya dalam melaksanakan tugas pembelajaran secara bertanggung jawab.
Melayani siswa, tidak berarti bahwa guru harus mengambil alih apa yang menjadi tanggung jawab siswa. “Kegiatan mencari siswa untuk remidi” misalnya, perlu dipertimbangkan agar anak didik belajar bertanggung jawab, siswa diajak membangun self regulated learning, ini dalam rangka proses pembelajaran.  Kalau siswa harus dicari untuk mengerjakan apa yang menjadi tanggung jawabnya tentu ini tidak membangun keterampilan metakognitifnya, ini akan berakibat buruk pada diri anak, karena  semua harus “disuapin” oleh gurunya lambat laun anak akan belajar untuk mengabaikan tanggung jawab.  Apa yang bisa kita harapkan dari sebuah generasi yang tidak bertanggung jawab? Proses pembangunan keterampilan dan pengetahuan metakognitif juga merupakan landasan pendidikan karakter.
Pengalaman belajar  (Learning Experience) atau dalam hal ini disebut sebagai pengalaman metakognitif (Metacognitive experiences)  sangat penting bagi masa depan anak. Anak yang memiliki pengalaman belajar yang banyak akan lebih siap mengghadapi tantangan  dalam memecahkan masalah kehidupan dibandingkan dengan anak yang miskin pengalaman belajar.  Anak dengan pengalaman belajar yang luas akan memiliki referensi (prior knowledge) yang baik untuk menyelesaikan tugas dan memiliki tingat  ketahanmalangan yang lebih tinggi. Anak yang miskin pengalaman belajar akan cendrung menjadi “Quiter” karena tidak pernah mengemban tanggungjawab. Penting bagi pendidik untuk mempertimbangkan pelayanan seperti apa yang harus diberikan pada anak didik kita, apa pelayanan seperti kepompong pada cerita di awal tulisan ini? Atau pelayanan untuk membangun self regulated learning anak didik. Ini semua akan menjadi nurturent effect dalam system pendidikan kita.