MEMBANGUN SELF CONTROL DAN SELF REGULATED
LEARNING PADA SISWA
Suatu
ketika ada seoarang anak melihat kepompong, karena kasihan, maka si anak
membantu kupu-kupu kecil itu keluar dari kepompong itu, namun sial kupu-kupu
kecil itu justru mati pelan-pelan, ternyata kupu-kupu itu belum siap untuk
keluar dari kepompongnya, sehingga sayapnya masih lemah belum bisa terbang. Kupu-kupu
itu memang harus keluar sendiri dari kepompongnya tanpa bantuan, proses
keluarnya kupu-kupu dari cangkang kepompong secara mandiri itu untuk menguatkan
kupu-kupu itu sendiri. Ada saat dimana
kita harus membantu dan dimana harus membiarkan sebuah proses berjalan dengan
alami demi untuk memandirikan.
Metakognitif
secara lebih sederhana didefinisikan sebagai berpikir bagaimana berpikir. Metakognitif
terdiri dari dua komponen: pengetahuan
dan regulasi. Pengetahuan metakognif termasuk pengetahuan tentang diri
pebelajar dan factor-faktor yang mungkin
mempengaruhi kinerja, pengetahuan
tentang strategi, dan pengetahuan tentang kapan dan mengapa menggunakan
strategi. Regulasi metakognitif adalah pemantauan kognisi seseorang dan
termasuk perencanaan kegiatan, kesadaran akan pemahaman dan
kinerja tugas, dan evaluasi dari efikasi pemantauan proses dan strategi. Penelitian
terakhir menyarankan bahwa anak muda mampu memiliki bentuk pemikiran
metakognisi yang belum sempurna,
khusunya setelah berusia tiga tahun. Walaupun model perkembangan individu bervariasi, kebanyakan postulat menunjukan
perbaikan dalam metakognisi selaman enam tahun awal masa kehidupan. Metakognisi
juga memperbaiki kaitannya dengan
pembelajaran, dengan bukti empiric yang mendukung gagasan bahwa siswa dapat berpikir untuk merefleksi
pemikirannya sendiri.
Para
ahli mengklasifikasikan metakognisi ini
menjadi beberapa, yaitu: 1) Pengetahuan kognitif
( juga sering disebut kesadaran
kognitif) mengacu pada apakah seseorang
tahu tentang diri mereka sendiri dan orang lain
sebagai prosesor kognitif, 2) Regulasi metakognitif adalah regulasi
kognisi dan pengalaman belajar melalaui seperangkat kegiatan yang membantu orang mengatur pembelajaran mereka. 3) Keterampilan
kognitif mengacu pada kesadaran pengaturan
proses seperti perencanaan, pemantauan kemajuan sebuah proses, alokasi
usaha, penggunaan strategi dan regulasi kognisi. Dan 4). Pengalaman metakognisi
adalah pengalaman yang harus dilakukan dengan kondisi saat ini, usaha keras
kognitif yang berlanjut.
Metakognitif
ini sangat penting bagi siswa, dalam proses pembelajaran siswa juga harus
memahami bahwa proses belajar dapat dipelajari, Learning how to learn. Sehingga siswa memiliki keterampilan untuk
belajar dan pengalaman belajar untuk memandirikan dirinya sendiri. Dengan demikian
guru dalam hal ini sebagai fasilitator yang dapat menumbuhkan metakognitif
siswa dengan memberi peran siswanya dalam melaksanakan tugas pembelajaran secara
bertanggung jawab.
Melayani
siswa, tidak berarti bahwa guru harus mengambil alih apa yang menjadi tanggung
jawab siswa. “Kegiatan mencari siswa untuk remidi” misalnya, perlu
dipertimbangkan agar anak didik belajar bertanggung jawab, siswa diajak membangun self regulated learning, ini dalam rangka proses pembelajaran. Kalau siswa harus dicari untuk mengerjakan apa
yang menjadi tanggung jawabnya tentu ini tidak membangun keterampilan
metakognitifnya, ini akan berakibat buruk pada diri anak, karena semua harus “disuapin” oleh gurunya lambat
laun anak akan belajar untuk mengabaikan tanggung jawab. Apa yang bisa kita harapkan dari sebuah
generasi yang tidak bertanggung jawab? Proses pembangunan keterampilan dan
pengetahuan metakognitif juga merupakan landasan pendidikan karakter.
Pengalaman belajar (Learning
Experience) atau dalam hal ini disebut sebagai pengalaman
metakognitif (Metacognitive experiences) sangat
penting bagi masa depan anak. Anak yang memiliki pengalaman belajar yang banyak
akan lebih siap mengghadapi tantangan
dalam memecahkan masalah kehidupan dibandingkan dengan anak yang miskin
pengalaman belajar. Anak dengan
pengalaman belajar yang luas akan memiliki referensi (prior knowledge) yang
baik untuk menyelesaikan tugas dan memiliki tingat ketahanmalangan yang lebih tinggi. Anak yang
miskin pengalaman belajar akan cendrung menjadi “Quiter” karena tidak pernah
mengemban tanggungjawab. Penting bagi pendidik untuk mempertimbangkan pelayanan
seperti apa yang harus diberikan pada anak didik kita, apa pelayanan seperti
kepompong pada cerita di awal tulisan ini? Atau pelayanan untuk membangun self
regulated learning anak didik. Ini semua akan menjadi nurturent effect
dalam system pendidikan kita.