Keseragaman,
Nyatakah?
Ada
fenomena menarik dikalangan sekolah, ini
terjadi sejak beberapa tahun terakhir. Pernahkah kita memperhatikan phenomena
uniformity-keseragaman, awalnya dari pakaian untuk siswa, baju dan celana,
kemudian beralih sampai ke tas, jaket, dan kini sampai ke kaos kaki. Ini mulai
sejak anak TK bahkan sampai ke perguruan tinggi. Namun benarkan keseragaman ini
menambah ‘sesuatu’ pada anak didik?
Berikut
ini adalah perubahan system yang terjadi dari abad ke-20 ke abad 21
Dilihat
dari fenoma itu semestinya perlakuan-perlakuan seragamisasi sudah mulai
melunak, karena tidak didukung oleh system, tetapi kenapa justru lembaga
pendidikan sekarang malah menjadi alot dengan menerapkan kebijakan seragamisasi,
bahkan kaos kakipun diseragamkan, siswa kehilangan hak untuk sekedar memilih
kaos kaki yang mereka inginkan. Beralihnya system dari keseragaman menuju
keberagaman akan bermuara pada sikap apresiatif pada perbedaan. Jika sejak
kecil anak terus ditekan untuk menjalankan keseragaman maka dia akan belajar
untuk selalu mecampakan keberagaman, padahal keberagaman sangatah hakiki
sifatnya. Kesegaman yang di barengi dengan paradigm pembelajaran kompetitif
yang hanya akan menekankan ranah kognitif anak didik. Kondisi ini akan selalu memberi
asupan untuk memperbesar semangat keseragaman. Pembelajaran yang kompetitif
akan melahirkan individu yang egois dengan kepekaan social yang rendah. Orang
selalu berkelakar “ kalian boleh rebut semua peringkat olimpiade sain dan
olimpiade-olimpiade lainnya………. Tapi jangan berharap hadian Nobel!”. Dunia
telah berubah, semangat keberagaman mesti mulai ditumbuhkan, mengurangi proses
pembelajaran yang bersifat kompetitif dan beralih ke pembelajaran yang bersifat
kolaboratif. Mulai dari hal-hal kecil,
untuk membangun karakter anak didik yang apresiatif pada keberagaman tidak bisa
dengan menyeragamkan kaos kaki mereka! Bagaimana mungkin mengajarkan
penghormatan pada perbedaan dengan penyeragaman tas sekolah mereka?
Keyakinan
akan kecerdasan majemuk yang dimiliki oleh setiap anak akan menambah kekuatan
akan usangnya semangat keseragaman, baju bisa kita seragamkan, tapi bukan otak
dan bakat mereka! Belajar bukan lagi mentransfer ilmu, namun membangun
pengetahuan. Ide utamanya adalah
bagaimana membelajarkan siswa bukan bagaimana mengajar siswa!
Kalau
anak didik sudah dijejali dengan keseragaman dalam kehidupannya nyatanya, akan
sangat susah bagi mereka untuk belajar menghargai keberagaman, ingat anak tidak hanya belajar
secara auditory- perintah guru, namun tuga
secara visual kinestetik, dari apa yang mereka lihat dan lakukan? Jadi perlu
keselarasan antara apa yang didengar, dilihat dan yang dilakukan.
Keseragaman
sangatlah tidak natural, keberagaman adalah sangat nyata dan natural,
demikianlah kehendak alam. Kini pertanyaannya adalah masih perlukah asesoris
seragam untuk para siswa?
Dalam
tiga gelombang reformasi dalam pendidikan
Cheng menulis:
Gelombang
I: tahun 1970:
Fokus utamanya pada keefektifan internal dengan usaha
membuat perbaikan kinerja internal dari institusi
pendidikan secara umum dan metode dan proses pengajaran dan pembelajaran
secara khusus.
Gelombang
II 1990:
Menekankan keefektifan antarmuka secara tipikal didefinisikan dengan istilah dalam kualitas
pendidikan, kepuasan stake holder,dan persaingan pasar dengan lebih banyak kebijaksanaan usaha mengarah pada meyakinkan kualitas denan
akuntabilitas pada internal dan ekternal
stakeholder
Gelombang
III 2000:
Munculnya gelombang III dari pendidikan secara kuat merepormasi yang menekankan
keefektifan masa depan, didefinisikan
dengan istilah pembelajaran dengan
fungsi-fungsi baru pendidikan di abad yang baru sekaligus relevansinya dengan paradigma baru
pendidikan pendidikan yang berfokus
pada CMI (contextualized
multiple intelligences) yang hendak dituju dari visi baru dan misi baru pada
tingkatan yang berbeda dari
pendidikan, belajar sepanjang masa, jaringan kerja global, pandangan
internasional dan menggunakan teknologi infomasi adalah beberapa dari
bukti kemunculan gelombang III. Kita
sedang berada di gelombang mana? Atau kita berada di era yang salah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar