Minggu, 02 Desember 2012

Neo Humanistic Education



Pendidikan Neo-Humunistik

Menurut para ilmuwan, potensi manusia itu sungguh tak terbatas, akan tetapi hingga tingkat peradaban sekarang ini kita baru menggunakan hanya satu persen saja dari seluruh potensi tersebut. Apabila benar demikian, maka tugas paling utama pendidikan ialah "menggali" seluruh potensi yang dimiliki oleh setiap manusia agar setiap manusia menjadi manusia seutuhnya, komplit. Dan inilah memang tugas Pendidikan Neo Humanis, di mana dilakukan upaya-upaya secara terpadu untuk menyadap potensi tertinggi di dalam diri setiap anak, pada setiap waktu dan setiap tempat.
Pendidikan Neo Humanis memberikan pendidikan kepada keseluruhan bagian yang membentuk anak itu : bukan hanya menghafalkan informasi can menjejalkannya kepada intelek, atau melatih anak menjadi robot agar guru menjadi senang karena anak itu akan mengeluarkan jawaban-jawaban yang dikehendaki yang dikatakan sebagai "benar".
Pendidikan Neo Humanis hendaknya diberikan kepada anak sejak usia dini. Itulah sebabnya Shrii P.R. Sarkar, pelopor Pendidikan Neo Humanis dengan filosofi Neo Humanisme-nya, menganjurkan untuk mendirikan lebih banyak Taman Kanak-kanak atau Pre-School yang menerapkan sistem pendidikan Neo humanis.
Kenapa P.R. Sarkar tidak menganjurkan mendirikan lebih banyak Perguruan Tinggi ? Sudah diakui secara umum sebagai suatu fakta perkembangan seseorang sebagian besar terjadi pada usia di bawah 6 tahun. Pada periode usia ini anak-anak membentuk struktur kognitif clan kepribadian dirinya yang akan menentukan jalan hidup untuk selanjutnya. Oleh karena itu guru-guru dan fasilitas yang terbaik hendaknya dikonsentrasikan pada pendidikan kanak-kanak dan sekolah dasar.
P.R. Sarkar mengatakan bahwa pada setiap orang ada kehausan akan 'sesuatu' yang tak terbatas. Satu tugas terpenting dan pendidikan adalah membangkitkan keinginan akan perluasan yang tak terbatas itu - ilmu pengetahuan yang tak terbatas. Yang harus dibangkitkan pada setiap siswa adalah perasaan, "Saya ingin mengetahui/menyatu dengan kosmos." Sistem pendidikan tradisional masih jauh dari usaha sedemikian ini.
Harapan yang dimiliki oleh setiap anak yang lahir ternyata hancur berantakan, sebagai akibat adanya ketidak adilan yang terjadi dewasa ini. Manusia mulai seperti kupu-kupu dan berakhir sebagai kepompong.
Sudah saatnya sistem pendidikan dirancang sedemikian rupa sehingga tidak menghasilkan orang-orang yang berpengetahuan setengah-setengah yang kemudian berkembang menjadi agresip, bingung, pembangkang dan frustrasi. Akibat selanjutnya, rangkaian jaringan sosial menjadi semakin rusak. Dilihat secara keseluruhan, semakin banyak saja anak-anak remaja yang putus sekolah, keluyuran, dan terjerumus ke dalam penggunaan obat-obat terlarang (narkoba), merusak lingkungan, terkena penyakit kelamin, minggat dari rumah, gila atau bunuh diri.
Sudah sedemikian banyak dana can waktu dikorbankan untuk mencoba membenahi sistern pendidikan. Tetapi sayang, banyak yang gagal, karena perhatian dipusatkan kepada sumber masalah yang keliru - yaitu dengan menambah intensitas menjejalkan informasi. Di banyak negara, "pembaharuan" di bidang pendidikan berarti menambah jam dan bahan pengajaran serta memompakan lebih banyak informasi kepada anak­ anak yang sebenarnya sudah jenuh. Kesibukan menghafalkan informasi ini telah memerosotkan mutu dan martabat manusia dan menghancurkan jiwa para siswa itu. Berlawan dengan itu, Finlandia justru mengurangi jejalan tumpukan yang tidak berguna bagi anak dan hasilnya kualitas pendidikan di Finlandia dan di Korea Selatan justru terbaik di dunia.

Ketika anak-anak dipandang sebagai sebuah keranjang yang fungsi utamanya menerima, menyimpan dan mengeluarkan kembali data dan fakta itu, maka proses belajar itu akan bersifat mekanistis dan para siswa yang jenuh itu akan menjadi agresif dan frustrasi atau mencari pelampiasan emosinya yang tidak terkendalikan. Kita memerlukan perubahan dan perubahan itu harus dilakukan sekarang.

Terlebih dulu kita harus mengerti apa yang dijelaskan oleh P. R. Sarkar - dan ternyata ditunjang oleh kaidah-kaidah ilmu fisika modern - bahwa kehadiran kita bukan sekadar kenyataan yang nampak oleh panca indera, tetapi merupakan suatu rangkaian berkesinambungan dari berbagai lapisan kesadaran yang mulai dari lapisan yang paling kasar yaitu badan jasmani, melanjut menuju lapisan-lapisan yang lebih halus yaitu lapisan-lapisan psikis, dan akhirnya sampai pada suatu medan yang menyatu dengan kesadaran tak terbatas. Keseluruhan lapisan psikis itu dapat diidentifikasi ke dalam 5 lapisan

1. Kesadaran Jaga (Conscious Mind) PENGINDERAAN
2. Bawah Sadar (Subconscious Mind) INTELEK
3. Lapisan pertama Kesadaran Supra KREATIVITAS
4. Lapisan kedua Kesadaran Supra INTUISI
5. Lapisan ketiga Kesadaran Supra SPIRITUALITAS

Di dalam setiap kesadaran yang lebih tinggi terdapat sumber pengetahuan yang lebih luas yang lebih memberikan kebahagiaan, karena lapisan yang lebih tinggi ruang lingkupnya lebih luas dan mengandung cadangan energi yang bukan main banyaknya. Lapisan-lapisan ini bukan sekadar konsepsi teoritis kaum psikolog, tetapi merupakan level yang berfungsi dapat dialami oleh setiap orang yang berlatih dengan penuh disiplin menjelajahi jiwanya. Tetapi sayang, pada umumnya orang tidak menyadari adanya level-level terpenting dari jiwa yang terdalam; dan kita biasanya hidup dengan dua level yang lebih rendah yaitu lapisan sadar dan bawah sadar saja.

Apa yang menjadikan Pendidikan Neo Humanis itu unik ialah bahwa sistem dan metode pendidikan ini secara sistematis mengembangkan semua lapisan keberadaan manusia dan secara berangsur-angsur mangarahkan individu menuju tujuan yang tidak terbatas. Jadi Pendidikan Neo Humanisme ini sebenarnyalah merupakan pendidikan keseluruhan (holistic education), karena di dalam proses pendidikan itu tidak terdapat bagian kesadaran manusia yang terabaikan, tidak ada aspek kehidupan manusia yang tidak ditangani. Dengan memahami karakteristik eksistensi manusia secara keseluruhan maka seorang pendidik akan lebih mudah menggali metode-metode pengajaran yang lebih sesuai dengan psikologi anak didik.

Tujuan Pendidikan Neo-Humanistik
·    Mengembangkan potensi anak sepenuhnya : fisik, mental, dan spiritual.
·    Membangkitkan kehausan akan ilmu pengetahuan dan senang (cinta) belajar.
·    Membekali anak-anak dengan kemampuan akademik dan kemampuan lainnya yang  diperlukan untuk pendidikan selanjutnya.
·         Memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak yang meliputi
·         moralitas, integritas, percaya diri, disiplin, dan kerjasama.
·         Mengembangkan kemantapan fisik dan ketahanan mental melalui yoga dan meditasi, olahraga
·                   dan bermain.
·    Mengembangkan rasa estetika dan penghargaan terhadap kebudayaan melalui drama, tari, musik dan senirupa.
·                                  Mendorong anak-anak agar menjadi anggota masyarakat yang aktif dan bertanggungjawab.
·         Meningkatkan kesadaran ekologi dalam makna yang paling luas, yaitu kesadaran akan saling terkaitnya segala sesuatu dan mendorong rasa hormat dan peduli
·         Terhadap semua makhluk
·    Meningkatkan Pandangan Universal, terbebas dari perbedaan agama, warna kulit"
·         Jenis kelamin, dsb.
Aspek-aspek kepribadian manusia dan metode pendidikan neo humanis untuk Mengembangkannya:

1. Badan jasmani pengembangannya melalui latihan-latihan gerak badan yang ringan dan kasar, latihan yoga yang halus (yoga asanas), tarian, dan makanan sehat.
2. Kesadaran sadar pengembangannya melalui kegiatan sensori-motorik termasuk latihan-latihan dalam kehidupan praktis, lingkungan yang mendukung, etika atau kegiatan pro-sosial.
3. Kesadaran bawah sadar pengembangan intelek melalui kegiatan-kegiatan sensori-motor dan penggunaan permainan dan fantasi (playway method).
4. Kesadaran kreatif pengembangan inisiatif sendiri dan ekspresi diri melalui seni yang kreatif, permainan fantasi dan drama.
5. Kesadaran intuitif pengembangan kebijaksanaan yang halus dan cinta universal melalui kurikulum Lingkaran Kasih (Circle of Love) dan penggunaan cerita dan lagu-lagu yang memiliki nilai universal.
6. Kesadaran spiritual pengembangannya melalui meditasi (quiet-time), cerita dan lagu-lagu spiritual, dan tarian yoga yang halus.

Jumat, 23 November 2012

Menghukum Siswa



MENGHUKUM SECARA EDUKATIF
Setiap guru tentu pernah melakukan hukuman terhadap peserta didik yang pernah melakukan pelanggaran. Hai ini dilakukan agar peserta didik menyadari dan tak mengulang kesalahannya kembali. Namun, benarkah teknik ini mampu membuat mereka jera dan tak mengulangi lagi? Tak jarang media memberitakan guru yang terkena bumerang atas tindakan tersebut. Alih-alih memberi tindakan pembelajaran pada peserta didik, yang terjadi justru guru terjerat masalah hukum. Berikut prinsip-prinsip dalam memberikan hukuman yang edukatif.

Jangan Menghukum karena Emosi
Hal ini bisa terjadi bila guru mendapati peserta didiknya tidak mematuhi instruksi, terlebih mereka melakukan per­lawananan. Guru akan merasa disepelekan dan akhirnya dapat memancing emosi guru. Beberapa permasalahan di kelas yang membuat guru emosi di antaranya adalah siswa berkat,a atau berlaku tak sopan, gaduh/ramai, mengantuk/ menguap dengan keras saat pelajaran, membaca buku lain yang tak terkait pelajaran, tak mengerjakan tugas yang diberikan, dan atau sering membolos.
Apapun pelanggaran siswa, prinsip menghukumnya jangan didasari emosi, balas dendam, apalagi perasaan benci. Apabila salah satu hat di atas terjadi, ada baiknya guru menyikapinya dengan kepala dingin. Guru harus menyadari peserta didik masih memiliki keterbatasan mengenai tata krama dan kesadaran mematuhi instruksi. Di sinilah peran dan tugas guru membuat peserta didik mengenal tata krama dan disiplin.

Analisis Jenis Kesalahan atau Pelanggaran Siswa
Guru hendaknya memiliki daya analisis tinggi. Artinya, bila ada peserta didik yang melanggar, guru hendaknya segera mencari akar penyebabnya. Bila kesalahan itu terjadi di saat pelajaran berlangsung, karena siswa mengantuk atau menguap dengan keras, gaduh atau membaca buku selain pelajaran, asumsi yang muncul untuk menjelaskan permasalahan ini adalah strategi pembelajaran guru yang kurang menarik atau peserta didik merasa dirinya tak terlibat penuh pada mata diktat yang dipelajari.
Apabila peserta didik berkata tidak sopan, hat pertarna yang harus dilakukan guru adalah segera memberi tindakan berupa peringatan secara verbal. Lantas, guru mencari data mengenai peserta didik yang bersangkutan pada BK. Setelah itu, lakukanlah pendekatan secara personal. Jika siswa tersebut didekati baik-baik, dia akan merasa sungkan kepada guru. Paling tidak, siswa itu akan memahami apa yang guru lakukan bukanlah untuk. kepentingan guru sendiri, tetapi untuk kepentingan siswa tersebut. Penanganan seperti ini akan membawa dampak positif, guru akan disukai dan didengar nasehatnya.
Jangan Menghukum Tanpa Nilai Edukasi
Membuat peserta didik yang bermasalah menyadari kesalahannya memang bukan pekerjaan mudah. Bila peserta didik tak mengerjakan tugas, jangan langsung menyuruhnya push-up atau lari tanpa feed-back. Hukuman bisa dilakukan dengan menyuruh mereka mencari tugas tambahan di Internet, koran, atau majalah yang berkaitan dengan pelajaran. Dengan demikian, dia akan berusaha mencari tahu apa yang harus diperbaikinya. Walaupun tidak semua siswa akan melakukan itu, tetapi hal itu lebih bijak daripada menghukum secara fisik.
 Lakukan Hukuman Tahap Demi Tahap
Sangat dimungkinkan bahwa hukuman verbal atau pengarahan secara khusus tak diindahkan peserta didik yang bandel. Dalam kasus seperti ini, prinsip nomor satu di atas harus menjadi prioritas. Hal yang mungkin dilakukan guru adalah memberi hukuman sesuai dengan beberapa tahapan. Pertama, guru melakukan peneguran secara tegas di hadapan peserta didik lainnya agar peserta didik yang bermasalah tak mengulangi lagi dan peserta didik lainnya menjauhkan diri dari perbuatan yang sama. Kedua, jika is tidak mengindahkan, permasalahan seperti ini perlu penangananan pihak sekolah dan orangtua. Kebijakan ini adalah menghindarkan guru dari permasalahan. Sementara itu, guru dapat melaksanakan dan melanjutkan tugas mulianya.
 
Dikutip dari Lusita, A. 2011. Buku Pintar Menjadi Guru Kreatif, Inspiratif dan Inovatif.Yogyakarta: Araska

Sabtu, 20 Oktober 2012

Going Extra mile?

 Going The Extra mile

Tidak terpaku pada apa yang diwaj ibkan. Berkaryalah tanpa beban kewajiban. Bekerja tanpa pamrih. Mungkinkah?
Ada yang bilang, "Kewajiban saya adalah bekerja dari pukul 07.00 pagi hingga pukul 13.45 sore. Saya selalu tepat waktu. Masuk kantor tepat waktu. Keluar kantor tepat wak­tu. Istirahat tepat waktu. Mengambil cuti tahunan tepat waktu.... Kalau pekerjaan di kantor masih tetap tidak beres, ya itu bukan­lah tanggung jawab saya. Saya sudah mem­berikan tenaga sesuai dengan kewajiban saya, gaji saya, dan kontrak kerja yang telah saya tanda tangani. Saya tidak melanggar peraturan apa pun."
Tepuk tangan, Horreee....•
Anda akan selamanya bekerja di kantor itu, dengan promosi yang tepat waktu juga. Tinggal berdoa supaya kantor Anda tidak tu­tup,  tunggu pengumuman akan diadakan remunerasi masal, tidak ada pension dini dan rasiponalisasi PNS supaya kita tidak kehilangan mata pencaharian.
Bekerja karena kewajiban adalah baik, tetapi tidak cukup bila Anda ingin meraih keber­hasilan sejati. Keberhasilan sejati membu­tuhkan sedikit pengorbanan, yaitu pengor­banan hak. Inilah dalam tradisi di Bali disebut sebagai Yajna. Cintailah pekerjaan Anda. J anganlah bekerja karena terdorong oleh kewajiban saja.
Bila kita mencintai pekerjaan, dengan sen­dirinya kita tak akan terpaku dengan apa saja yang menjadi kewajiban kita. Bila pekerjaan di kantor belum selesai, tidak ada salahnya bila kita meninggalkan kantor setelah menyelesaikannya. Tidak perlu memeriksa jam terus."Ah, tapi saya tidak dibayar untuk itu. Saya tidak menerima uang lembur."
 Ini adalah mentalitas buruh kasar. Bila Anda ingin diperlakukan sebagai buruh kasar, pe­liharalah mentalitas itu. Tapi, bila Anda ingin diperlakukan sebagai mitra yang saling peduli, mentalitas itu harus diubah. Apalagi, bila Anda ingin menjadi boss sen­diri, bila Anda ingin menjadi pengusaha, mentalitas "bekerja sesuai dengan kewajib­an" menjadi penghalang utama.
Bagaimana membiasakan diri to go extra mile?
Berkaryalah tanpa pamrih, karena pamrih Anda tidak menjamin keberhasilan Anda. Karya Andalah yang menjamin hal terse­but. Hill tidak bicara banyak tentang hukum aksi­reaksi, kendati hal ini sangat erat kaitannva dengan hukum tersebut. Ada aksi, ada reaksi yang setimpal. Bila Anda telah bekerja secara optimal, pekerjaan Anda pasti mem­bawa hasil yang optimal pula. Bila Anda bekerja dengan setengah hati, hasilnya pun setengah. Go extra mile, dan hasilnya akan ikut go extra mile juga. Cukup masuk akal bukan? So. Tentukan pilihan kita sekarang dan tidak harus bilang  “Wow”, just do it
Tulisan ini dikutif dari Buku Total Success, karya Anand Krishna, Terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2009

Pakaian Seragam, Perlukah?



Keseragaman, Nyatakah?
Ada fenomena menarik dikalangan sekolah,  ini terjadi sejak beberapa tahun terakhir. Pernahkah kita memperhatikan phenomena uniformity-keseragaman, awalnya dari pakaian untuk siswa, baju dan celana, kemudian beralih sampai ke tas, jaket, dan kini sampai ke kaos kaki. Ini mulai sejak anak TK bahkan sampai ke perguruan tinggi. Namun benarkan keseragaman ini menambah ‘sesuatu’ pada anak didik?
Berikut ini adalah perubahan system yang terjadi dari abad ke-20  ke abad 21

Dilihat dari fenoma itu semestinya perlakuan-perlakuan seragamisasi sudah mulai melunak, karena tidak didukung oleh system, tetapi kenapa justru lembaga pendidikan sekarang malah menjadi alot dengan menerapkan kebijakan seragamisasi, bahkan kaos kakipun diseragamkan, siswa kehilangan hak untuk sekedar memilih kaos kaki yang mereka inginkan. Beralihnya system dari keseragaman menuju keberagaman akan bermuara pada sikap apresiatif pada perbedaan. Jika sejak kecil anak terus ditekan untuk menjalankan keseragaman maka dia akan belajar untuk selalu mecampakan keberagaman, padahal keberagaman sangatah hakiki sifatnya. Kesegaman yang di barengi dengan paradigm pembelajaran kompetitif yang hanya akan menekankan ranah kognitif anak didik. Kondisi ini akan selalu memberi asupan untuk memperbesar semangat keseragaman. Pembelajaran yang kompetitif akan melahirkan individu yang egois dengan kepekaan social yang rendah. Orang selalu berkelakar “ kalian boleh rebut semua peringkat olimpiade sain dan olimpiade-olimpiade lainnya………. Tapi jangan berharap hadian Nobel!”. Dunia telah berubah, semangat keberagaman mesti mulai ditumbuhkan, mengurangi proses pembelajaran yang bersifat kompetitif dan beralih ke pembelajaran yang bersifat kolaboratif.  Mulai dari hal-hal kecil, untuk membangun karakter anak didik yang apresiatif pada keberagaman tidak bisa dengan menyeragamkan kaos kaki mereka! Bagaimana mungkin mengajarkan penghormatan pada perbedaan dengan penyeragaman tas sekolah mereka?
Keyakinan akan kecerdasan majemuk yang dimiliki oleh setiap anak akan menambah kekuatan akan usangnya semangat keseragaman, baju bisa kita seragamkan, tapi bukan otak dan bakat mereka! Belajar bukan lagi mentransfer ilmu, namun membangun pengetahuan.  Ide utamanya adalah bagaimana membelajarkan siswa bukan bagaimana mengajar siswa!  
Kalau anak didik sudah dijejali dengan keseragaman dalam kehidupannya nyatanya, akan sangat susah bagi mereka untuk belajar menghargai  keberagaman, ingat anak tidak hanya belajar secara auditory- perintah guru, namun tuga  secara visual kinestetik, dari apa yang mereka lihat dan lakukan? Jadi perlu keselarasan antara apa yang didengar, dilihat dan yang dilakukan.
Keseragaman sangatlah tidak natural, keberagaman adalah sangat nyata dan natural, demikianlah kehendak alam. Kini pertanyaannya adalah masih perlukah asesoris seragam untuk para siswa?
Dalam tiga gelombang reformasi dalam pendidikan  Cheng menulis:
Gelombang I: tahun 1970:
Fokus utamanya pada keefektifan internal dengan usaha membuat  perbaikan  kinerja internal dari institusi pendidikan  secara umum dan  metode dan proses pengajaran dan pembelajaran secara khusus.

Gelombang II 1990:
Menekankan  keefektifan  antarmuka secara tipikal didefinisikan  dengan istilah dalam  kualitas  pendidikan, kepuasan stake holder,dan persaingan pasar dengan lebih  banyak kebijaksanaan  usaha mengarah pada meyakinkan kualitas denan akuntabilitas pada  internal dan ekternal stakeholder

Gelombang III 2000:
Munculnya gelombang III dari pendidikan  secara kuat merepormasi yang menekankan keefektifan  masa depan, didefinisikan dengan istilah  pembelajaran dengan fungsi-fungsi baru  pendidikan  di abad yang baru sekaligus  relevansinya dengan paradigma baru pendidikan  pendidikan yang berfokus pada  CMI (contextualized multiple intelligences) yang hendak dituju  dari visi baru dan misi baru pada tingkatan  yang  berbeda dari  pendidikan, belajar sepanjang masa, jaringan kerja global, pandangan internasional dan menggunakan teknologi infomasi adalah beberapa dari bukti  kemunculan gelombang III. Kita sedang berada di gelombang mana? Atau kita berada di era yang salah?